Minggu, 29 Agustus 2010

Sinyalemen Bangkitnya Kesultanan Cirebon

Ada yang menyebut bila keinginan masyarakat Ciayumajakuning membentuk Provinsi Cirebon ini karena dua faktor. Pertama, kurangnya perhatian Pemprov Jabar. Dan kedua, bangkitnya kesadaran masyarakat akan histori masa silam (Kasultanan Cirebon) dan ingin mengulang kembali masa kejayaannya.

Jika melirik perjalanan sejarahnya, Cirebon merupakan daerah di Jawa Barat yang pernah menjadi sebuah Kerajaan Islam yang berjaya. Kala itu, tampil pemimpinnya yang kharismatik, sangat disegani dan dihormati rakyatnya. Bahkan hingga kini, jauh setelah mereka wafat. Sebut saja Sunan Gunung Djati. Kala itu pula, wilayah Cirebon tidak hanya meliputi Ciayumajakuning. Melainkan hampir sepanjang pantai utara pulau Jawa bagian barat dan Jawa Tengah bagian barat. Sejarah ini merupakan modal utama dan eksistensinya tidak diragukan lagi,

Kasultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Posisinya sangat penting karena berada dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuat Cirebon menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga terciptalah suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan wilayah ini berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran). Disebut campuran karena di sana berbaur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan bermata pencaharian yang berbeda-beda, baik untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil). Maka masyarakat di sepanjang pantai Cirebon dikenal sebagai pembuat terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Rencana pembentukan Propinsi Cirebon sendiri, sejatinya merupakan aspirasi masyarakat yang membutuhkan pelayanan lebih cepat dan terciptanya pembangunan yang berkeadilan. Seperti dituturkan tokoh pemuda Kota Cirebon, Hartoyo, kawasan Ciayumajakuning memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Pendapatan asli daerahnya pun terbilang cukup tinggi, dan bisa menjadi bekal untuk mandiri. Apalagi, mengingat sejarah masa lalu. “Ini seolah-olah membangkitkan kembali kejayaan masa silam ketika Kesultanan Cirebon masih berdiri,” tuturnya. ***


Sumber :
http://ekorisanto.blogspot.com/2009/08/deklarasi-pembentukan-propinsi-cirebon.html
11 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar